Kamis, 28 Oktober 2010

Tentang Tugas Saya : Pers Era Soeharto

Menjadi mahasiswa Ilmu Jurnalistik, terpaksa harus kritis terhadap segala keadaan. Termasuk terhadap perkembangan Pers, yaiyalah...wong ini ranah pelajaran saya. hehe
Oke... Etika dan Hukum Media menjadi bagian dari ranah itu, dari mata kuliah ini, saya mendapat tugas untuk mengomentari Pers Bebas dan Bertanggung Jawab pada masa pemerintahan Soeharto.
Dan saya ingin membagi isi otak saya tentang kecilnya pengetahuan saya mengomentari hal tersebut.
Secara tertulis, Sistem Pers Bebas dan Bertanggung Jawab sangat bagus untuk diterapkan. Tapi pada pelaksanannya di era soeharto pada beberapa waktu silam, semua itu hanya tertulis dan formalitas saja.
Sepengetahuan saya, berdasarkan referensi dari internet dan setelah belajar dasar-dasar jurnalistik pada semester 2 kemarin, Pers Bebas dan Bertanggung Jawab merupakan sistem yang hadir untuk menantang sistem otoriter dan Libertarian. Dimana Pers harus diberi kebebasan tetapi tidak boleh sewenang-wenang. Pers harus bisa mempertanggungjawabkan kepada publik, kebenaran, hukum dan akal sehat.
Melihat arti tersebut, tentu saja saya sangat setuju dengan sistem pers bebas dan bertanggung jawab ini. Karena dengan sistem pers ini, semua pihak tidak dirugikan. Tidak hanya insan pers yang bisa bebas mengemukakan dan memberikan informasi seluas-luasnya, tetapi khalayak juga bisa memperoleh dari pemberitaan pers secara bebas tadi. Tentusaja bebas disini mempunyai arti, yaitu tidak sewenang-wenang memberitakan, melainkan memberikan informasi kepada publik secara terbuka melalui aturan tertentu dan bisa dipertanggungjawabkan.
Namun, pendapat saya berubah menjadi kontra, jika melihat sistem pers ini pada masa pemerintahan Soeharto. Bukan tanpa alasan, tentu saja anda semua lebih tahu, bagaimana kebebasan Pers di kekang dalam era orde baru ini. Tidak ada namanya Pers Bebas, justru brbanding terbalik, sangat otoriter. Pers yang bertanggung jawab disalah artikan, bukan bertanggungjawab kepada kebenaran, tetapi pada kekuasaan pemerintah.
Saya bisa memberika beberapa fakta, yang pertama adanya SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers), tentu saja dengan adanya SIUPP ini, hidup matinya pers ada ditangan pemerintah. Yang kedua, terjadi pembredelan pada harian Tempo, Detik, Editor, pada 21 Juni 1994. Juga adanya permintaan maaf secara bersamaan kepada Soeharto pada 26 Januari 1978 dari tujuh media cetak, yaitu Kompas, The Indonesia times, Pelita, Sinar Harapan, Merdeka, Sinar Pagi, dan Pos Sore. Hal ini menegaskan, jika pada era Soeharto, sistem pers memang otoriter.
Begitulah kenyataanya, apa yang tertulis tidak sesuia dengan pelaksanaanya. Namun, kita masih bisa berharap pada sistem pers sekarang. Memang, seiring era reformasi, era globalisasi serta banjirnya informasi, mau tidak mau pers jaman sekarang ini terlampau kebablasan dan seperti menganut sistem libertarian. Tapi kita semua bisa merubah itu, dengan sistem pers bebas dan bertanggung jawab yang ideal tadi. Yaitu, jika pemerintah, insan media dan masyarakat bertindak. pemerintah bisa memformulasikan kebijakan yang sesuai untuk kepentingan media. Sepatutnya media bisa profesional dengan kode etik dan kepentingan masyarakat. Serta kita sebagai masyarakat, bisa menyaring informasi yang baik serta bertindak jika ada informasi yang tidak benar.

Oke, sekian....
itulah pendapat saya tentang pers bebas dan bertanggung jawab era soeharto. Saya cuma orang yang baru mengenal dunia jurnalistik dan pengetahuan saya sangat kurang. Subjektif !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tentang cinta, mimpi, harapan, ... ah, cuma cerita !